" Selamat datang di www.khairilanwardiniy.blogspot.com"

Sabtu, 12 Mei 2012

Jasad Pilot Sukhoi Tersangkut di Pohon

Jasad Pilot Sukhoi Tersangkut di Pohon 
Bukti Pilot Bermanuver Kuat 

BOGOR, FAJAR -- Setelah melakukan pencarian selama empat hari, tim Search And Rescue (SAR) akhirnya menemukan  jasad Alexander Yablontsev, pilot pesawat Sukhoi Superjet 100  yang jatuh di Gunung Salak.  Jenazah mantan penerbang pesawat ulang  alik (kosmonot) itu ditemukan tak jauh dari serpihan ekor pesawat.

Mayat pilot senior itu ditemukan dan dievakuasi oleh tujuh anggota Kopassus (regu II) di lembah Puncak Salak I yang dipimpin Sertu Abdul Haris menuju kawasan wisata Curug Nangka, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.

“Kita bertujuh menemukan jasad pilot dalam kondisi setengah tubuhnya bergelantungan. Tubuhnya tersangkut parasut merah di atas pohon. Untuk mengambil jasadnya, kita menggunakan rapeling di tengah dua tebing,” jelas Kepala Regu II Kopassus, Sertu Abdul Haris saat ditemui di sela-sela waktu istirahatnya usai melakukan evakuasi, kemarin.

Lebih lanjut ia mengatakan, setengah wajahnya sudah hancur akibat benturan pepohonan dan luka bakar. Namun, timnya yakin jenazah yang ditemukannya itu adalah pilot, meski pakaian dan sebagian tubuhnya sudah hancur di lokasi.  Pasalnya, di tubuh korban ditemukan kartu identitas yang menunjukkan bahwa jenazah itu merupakan sang pilot.

“Saya tidak bisa menunjukannya, karena harus saya serahkan ke pimpinan, yang jelas saya yakin itu adalah pilot Sukhoi. Selain dari kulit dan rambut, kita menemukan identitas korban,” tuturnya.

Selain itu, di antara serpihan pesawat, dirinya menemukan 3 buah foto, dua di antaranya photo ibu-ibu dan satu lainnya bapak-bapak. "Kami juga menemukan dompet berisi uang, ATM dan identas diri warga Bogor dan Bekasi," katanya.

Setelah berhasil mengevakuasi jasad pilot, tim akhirnya memasukan ke kantung mayat dan membawanya menggunakan batang pohon melalui jalur Curug Nangka, pada pukul 04:30 WIB. “Kita sempat beristirahat dan bermalam sambil membawa jenazah. Perjalanan dilanjutkan menuju Curug Nangka pada pukul 11:00 WIB (kemarin),” tuturnya.

Setibanya di kawasan Curug Nangka, tim mengangkut jenazah menggunakan angkutan perkotaan (angkot) menuju Markas Koramil Ciomas, Bogor. Kemudian sekitar pukul 13:30 WIB, jenazah dijemput oleh tim SAR lainnya lalu dibawa ke Posko Cipelang dan langsung diterbangkan ke Halim Perdana Kusuma pukul 15:30 WIB.

Menanggapi penemuan jenazah pilot tersebut, Danlanud Atang Sendjaja (ATS), Marsekal Pertama Tabri Santoso mengatakan, pihaknya belum bisa memastikannya. Sebab, ada beberapa jenazah yang telah dievakuasi. Mengingat, yang dibawa ke RS Polri Kramatjati merupakan potongan tubuh dalam bentuk serpihan kecil yang ditemukan tim relawan.

Hingga kemarin, sudah 16 kantong jenazah dievakuasi. Meski belum dapat diketahui berapa jenazah yang berhasil diangkut, petugas meyakini masih banyak korban yang belum ditemukan. Pencarian masih tetap dilakukan.

MANUVER
Sementara itu, bukti bahwa pilot Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100), Alexander Yablontsev terlalu pede dalam melakukan manuver-manuvernya saat penerbangan gembira (joyflight), makin kuat. Gerakan pilot senior yang disebut sebagai Godfather-nya Sukhoi Superjet itu dianggap berbahaya.

Hal itu diungkapkan oleh Presiden Federasi Pilot Indonesia, Manotar Napitupulu yang menilai banyak kejanggalan dalam penerbangan yang dipiloti mantan kosmonot itu. Dia mengaku heran mendengar pilot menurunkan ketinggian dengan cepat dari 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki. "Sangat tidak lazim dalam joyflight menurunkan ketinggian setajam itu dalam sekali gerakan. Itu kan cuma butuh 40-45 detik," ujarnya.

Biasanya dalam penerbangan gembira, pilot akan berusaha membuat penumpang senyaman mungkin. Bahkan diusahakan penumpang bisa makan minum dengan tenang tanpa ada goncangan. Dalam joyflight Rabu,  9 Mei lalu, Yablontsev nampaknya ingin mendekati Landasan Udara Atang Sanjaya. "Tapi kalau turunnya drastis, penumpang belakang bisa mual, tidak nyaman," katanya.

Keputusan itu juga dianggap janggal oleh pilot Indonesia. Pasalnya sudah umum bahwa 25 mil ke arah selatan Bandara Halim Perdanakusumah, pilot Indonesia akan menghindari terbang rendah. Para pilot Indonesia menyebutnya dengan istilah MSA (Minimum Safety Altitude) atau Ketinggian Aman Minimal, "Ke arah selatan itu kita (pilot lokal) MSA-nya di bawah 6900 kaki, di bawah itu cuaca unpredictable (tidak bisa diprediksi)," ungkapnya.

Oleh karena itu Manotar meminta KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) menyelidiki lebih lanjut mengapa pilot tiba-tiba memutuskan untuk turun begitu drastis, apakah karena obstacle (hambatan) atau memang ingin menikmati pemandangan di pegunungan Salak, "ATC (Air Trafic Control) memberi izin karena memang kawasan udara di Atang Sanjaya sudah steril, tidak akan ada pesawat lain," lanjutnya.

Yang cukup mengherankan, ketika berada 6000 kaki di atas Lanud Atang Sanjaya, pilot meminta izin orbit (memutar) ke arah kanan. Permasalahannya, apakah belok ke kanan itu masih di atas Lanud Atang Sanjaya? Ternyata tidak, pesawat malah menuju arah pegunungan Salak, "Antara Lanud Atang Sanjaya ke Gunung Salak itu memang cukup dekat hanya tujuh mil, kalau pakai Sukhoi paling satu menit," tandasnya.

Manotar menilai Yablontsev sengaja membawa penumpang ke atas pegunungan menunjukkan kelincahan manuver pesawat buatan Rusia itu.  Keputusan itu dinilai berisiko karena cuaca pegunungan dikabarkan sedang diselimuti kabut tebal. "Seharusnya kalau tahu cuaca berkabut tebal tidak usah memaksakan diri. Lurus saja ke Pelabuhan Ratu paling 3-4 menit, atau balik ke Halim saja," sebutnya.

Kemungkinan, kata Manotar, pilot Yablontsev sengaja ingin menikmati pemandangan di pegunungan Salak terlebih dahulu. Oleh karena itu dia meminta KNKT untuk menyelidiki apakah pesawat itu sengaja keluar dari zona aman di atas Lanud Atang Sanjaya? "Kemungkinan pilot itu terlalu pede, pengen bermanuver, padahal tidak mengenal medan. Apalagi saat itu tidak didampingi pilot lokal," tandasnya.

Deputi Manager Senior Angkasa Pura II, Mulya Abdi mengakui bahwa selama penerbangan joyflight kedua itu, pilot tiga kali melakukan komunikasi dengan ATC (Air Trafic Control). Pertama saat melakukan take off dari bandara Halim Perdana Kusuma. Kedua, saat meminta izin turun dari ketinggian 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki, dan ketiga saat meminta orbit (memutar) ke kanan. "ATC mengizinkan karena masih di area aman penerbangan," tandasnya.

Saat meminta izin menurunkan ketinggian dan berbelok itu, pesawat masih berada di atas kawasan Lanud Atang Sanjaya. Oleh karena itu, Mulya dengan tegas mengatakan bahwa pihak ATC sudah menjalankan prosedur yang benar dalam memandu penerbangan pesawat Sukhoi Superjet 100 itu. Namun pihak ATC kaget karena setelah itu pesawat kehilangan kontak (lost contact). "Saya dengan KNKT lagi dalam rangka untuk investigasi itu," pungkasnya

Sementara itu, pilot senior Jeffrey Adrian menambahkan, semua pihak harus belajar banyak dari peristiwa kecelakaan SSJ 100. Salah satu yang harus menjadi pelajaran adalah jangan sampai pilot asing yang belum mengerti medan dan kondisi penerbangan di tanah air dibebaskan melakukan berbagai manuver penerbangan.

"Ke depan, seharusnya pilot asing harus didampingi co-pilot lokal yang mengerti benar kondisi wilayah dan penerbangan di sini (Indonesia)," kata Jeffrey dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu, 12 Mei.

Selain itu, kata Jeffery, seharusnya sebelum joy flight harus ada pembicaraan dulu dengan otoritas terkait untuk membicarakan hal-hal teknis penerbangan seperti rute, ketinggian, manuver apa saja. "Jadi harus ada flight approval dulu, baru boleh dilakakukan," imbuh suami Revi Regina itu.

Pria yang sudah 15 tahun berpengalaman sebagai pilot Garuda Indonesia itu menduga pilot Alexander belum memahami medan dengan baik. Meksi begitu, kata dia, Alexander sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti aturan yang berlaku.

Kata dia, permintaan turun dari 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki dalam aturan penerbangan adalah seuatu yang sah. Asal, yang pilot bisa menguasai visual di lapangan. "Permintaannya (turun) di setujui ATC, pasti dia sudah menguasai pandangan," katanya.

Mungkin saat turun, lanjut Jeffery, tiba-tiba awan tebal menyelimuti pandangannya. Alexander pun melakukan manuver untuk mengamankan pesawatnya tetapi dia terlambat dan menabrak tebing. "Mungkin itu karena dia tidak tahu medannya," imbuh pria yang kini sedang menempuh pendidikan air racer.

Jeffery mengaku dirinya banyak memiliki pengalaman terbang di sela-sela pegunungan dengan ketinggian di bawah 6 ribu kaki. Terutama saat terbang di pegunungan Jaya Wijaya Papua. Dia berhasil melintasi pegunungan tersebut karena hafal dan paham benar dengan medan.

Sementara itu pengamat penerbangan Samudra Sukardi mengatakan, mayoritas teknologi ATC di bandara-bandara Indonesia sudah usang. Menurutnya, teknologi ATC sudah jauh tertinggal dengan teknologi pesawat yang kecanggihannya tidak bisa dibendung. "Jangankan di bandara daerah, di bandara ibu kota seperti (Bandara) Soekarno Hatta saja teknologinya harus segera diperbaharui," katanya.

Selain masalah teknologi, Samudra juga menyorot soal jumlah SDM yang bertugas di ATC kurang. Kata dia, kekurangan jumlah sumber daya manusia mengakibatkan para petugas yang ada harus bekerja melebihi waktu yang seharusnya. Akhirnya mereka kelelahan dan tidak berkonsentrasi. Padahal untuk mengatur lalu lintas penerbangan, petugas ATC harus memiliki konsentrasi tinggi. (jpnn/ars)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar